Breaking News

Demokrasi, Digitalisasi, Konflik dan Spiral Kekerasan


oleh : 

Lalu Gita Ariadi/ Dosen IPDN Kampus NTB

Rabu, 12 November 2025 lalu, diadakan seminar regional di Institut Pemerintahan Dalam Negeri ( IPDN ) Kampus NTB.

Tema nya cukup menarik. Relevan dengan kondisi kekinian kita. Penguatan Kapasitas Kelembagaan Dalam Resolusi Konflik Yang Responsif dan berkelanjutan. 

Nara Sumber yang hadir, memaparkan fenomena konflik baik dalam perspektif teoritik akademik, dinamika konflik dan kondisi empirik konflik di lapangan. 

Penanganan dan penyelesaian konflik, butuh komitmen lintas sektor. Bukan hanya jadi urusan dan tanggung jawab pemerintah ( government ) semata. Resolusi konflik yang responsif dan berkelanjutan butuh kolaborasi ( colaborative governance ) dan tanggung jawab moral sosial model heksa helix. Baik dari Pemerintah (Government), Akademisi (Academia), Masyarakat ( Community ), Industri (Industry), 

Media juga Lembaga non-profit ( Non Profit Organization ).

Dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat, potensi konflik di era demokratisasi saat ini sangatlah nyata. Termasuk di daerah kita Nusa Tenggara Barat yang memiliki keberagaman budaya, agama, suku, perbedaaan tingkat pendidikan, kemampuan ekonomi, afiliasi ideologi politik dan faktor- faktor lain yang dapat memicu terjadinya konflik.

Politik identitas dapat memicu polarisasi sosial dan konflik antar kelompok. Penyebaran ujaran kebencian dan propaganda dapat menjurus fitnah yang bisa memanaskan situasi. Ketimpangan sosial dan ekonomi dapat memperburuk ketegangan antar kelompok.

Dalam situasi daerah yang rentan terjadinya konflik, peran Forkopimda ( Forum Koordinasi Pimpinan Daerah ) NTB, FKUB ( Forum Komunikasi Ummat Beragama ) NTB dan juga Balai Mediasi NTB diharapkan mampu menunjukkan peran dan keberadaannya dalam melakukan deteksi dini, relaksasi mengurangi ketegangan potensi konflik. 

Balai Mediasi Provinsi NTB yang dibentuk dengan

Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 9 Tahun 2018 tentang Bale Mediasi, Peraturan Gubernur NTB No. 32 Tahun 2018 tentang Balai Mediasi Provinsi NTB dan Keputusan Gubernur NTB No. 188.45/545/KUM/2018 tentang Pembentukan Balai Mediasi Provinsi NTB, diharapkan dapat menjadi lembaga yang efektif dan efisien dalam menyelesaikan konflik dan sengketa melalui mediasi. 

Secara kelembagaan, peran, keberadaan dan managemen Balai Mediasi NTB harus diperkuat mengingat posisinya yang strategis sebagai resolusi konflik.

Tibanya era digitalisasi, disatu sisi memudahkan kehidupan manusia yang butuh layanan serba cepat. Disisi lain patut diwaspadai, era digitalisasi membawa potensi konflik yang juga nyata. 

Dalam masyarakat tradisional, salah cara menatap, salah cara berkata-kata dalam bertegur sapa, salah cara bersikap dan bertindak yang melanggar etika dan estetika bisa spontan memicu benih konflik secara fisik. 

Kini, dalam era digitalisasi, era post truth dan era proxy war, sebuah konflik dapat dipicu hanya lewat ujung jari jemari yang tidak bijaksana dengan memancing kegaduhan di ruang publik. Kegaduhan ini di framing berkembang menjadi keresahan sosial bahkan endingnya menjadi kerusuhan massa.

 Bukankah sudah sering kejadian perkelahian antar kampung, perkelahian pelajar, perundungan dan sejenisnya dipicu adanya konten-konten yang saling provokasi di media sosial. Media sosial dapat memicu polarisasi dan ketegangan antar kelompok. Pelanggaran Undang-undang ITE yang telah banyak memakan korban, akibat dari tidak bijaknya seseorang dalam bermedia sosial. Konten yang bernuansa SARA, pornografi, hoax, fitnah kemudian viral menimbulkan kegaduhan dan konflik tidak hanya di ruang publik ( medsos ) tapi juga di alam nyata. 

Perbedaan kepentingan ( conflict of interest ) supra struktur dan infra struktur sosial politik, juga berpotensi hadirkan konflik di era demokrasi, globalisasi, otonomi daerah dan era digitalisasi saat ini.

Karenanya, untuk menjaga momentum pembangunan nasional - daerah dan agar terhindar dari konflik, semua pihak dituntut harus bijaksana. Penguasa ( suprastruktur / mayoritas )

tidak boleh menggunakan kekuasaannya untuk menindas minoritas. Minoritas pun tidak boleh dengan dalih demi demokrasi dan hak azasi manusia menggunakan hak-haknya secara ekstrem untuk memveto, menghambat dan menghalangi kebijakan penguasa yang sejatinya sedang berjuang untuk memenuhi dan melayani kepentingan masyarakat. 

Dulu, ketika ramai pelaksanaan penataran P4 di Era Presiden Soeharto, para penatar P4 selalu mengingatkan bahwa untuk menjaga stabilitas nasional dan harmoni di tengah masyarakat tidak boleh ada " dominasi mayoritas" dan juga tidak boleh ada "tirani minoritas". Kekuasaan dan kebebasan masing-masing pihak tidaklah mutlak. Kekuasaan dan kebebasan itu bersifat tidak tak terbatas. Jadi, ada batasnya agar tidak merugikan kepentingan umum.

Bila kelompok mayoritas ( supra struktur ) mengeksploitasi dominasinya secara absolut dan kelompok minoritas ( infra struktur ) mengeksploitasi sikap tirannya juga secara absolut maka pastilah akan terjadi konflik dan benturan kepentingan. 

Tentu ada kekhawatiran, bila konflik dan benturan kepentingan tidak terkendali, potensial akan menimbulkan spiral kekerasan.

Teori "Spiral Kekerasan" yang dikembangkan oleh Dom Helder Camara, mengulas dinamika kekerasan yang berkembang secara berulang dan saling memperkuat dalam kehidupan sosial, politik, maupun budaya.

Kekerasan dapat bermula dari ketidakadilan, diskriminasi, atau pelanggaran hak asasi manusia, lalu berkembang menjadi siklus yang sulit diputus.

Disetiap tahap kekerasan dapat memicu tahap kekerasan lainnya, sehingga menciptakan siklus kekerasan yang sulit dihentikan. 

Bila Kekerasan dibalas dengan kekerasan dan memantik timbulnya kekerasan baru lagi yang terus berulang, akibatnya harmoni dan stabilitas akan jauh panggang dari api nya. 

Sebagai resolusi konflik yang responsif dan berkelanjutan, semua pihak dituntut menahan diri, take and give, membuka ruang dialog, memperbanyak ruang perjumpaan sembari mencari win-win solution. Rekonsiliasi ini perlu agar tidak ada kebuntuan yang bermuara konflik. 

Hentikan kegaduhan. Hentikan konflik. Ciptakan kehidupan demokrasi yang lebih sehat dan bertanggung jawab tanpa ada pihak yang merasa ternistakan, difitnah, di down grade atau pun termarginalkan akibat sebuah konflik kepentingan yang tak berkesudahan. Pembangunan harus berjalan sesuai visi misi dan target untuk hadirkan kesejahteraan masyarakat dalam suasana yang demokratis, harmonis dan beradab. 

Seperti sesenggak sasaq : tunjung tilah, aiq meneng, empaq bau. Atau dalam lawas samawa : bosang barisi ramang no berek. Kalembo ade. 

Wassalam.

0 Komentar

Advertisement

Type and hit Enter to search

Close