Breaking News

Saatnya Lebih Banyak Mencegah daripada Mengobati

(Refleksi ASN di Hari Kesehatan Nasional)

Oleh : Anugrah Fajar Fahrurazie, S.IP, M.Si, C.M.C 



Garis Merah- Setiap tahun kita memperingati Hari Kesehatan Nasional (HKN) sebagai pengingat bahwa sehat bukan sekadar bebas dari sakit, melainkan kapasitas untuk hidup produktif. Namun di balik seremoni ini hadir pertanyaan: apakah sistem dan perilaku kita, termasuk para ASN, sudah berorientasi pada pencegahan atau masih sebatas menunggu sakit lalu mengobati?

Sebagai seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang berkecimpung dalam pelayanan publik, saya menyaksikan bahwa tantangan terbesar bukan semata dari keterbatasan fasilitas, melainkan dari perilaku hidup kita sendiri. Banyak di antara kita yang masih mengabaikan pentingnya menjaga pola makan, minim aktivitas fisik, dan tenggelam dalam rutinitas kerja tanpa memikirkan keseimbangan hidup. Padahal tubuh yang sehat adalah modal utama pengabdian publik.

Lebih dari itu, saya mencermati bagaimana tidak sedikit ASN mengalami kelebihan berat badan dan kurang menjaga penampilannya. Ini bukan sekadar soal estetika; ini soal citra dan profesionalisme. ASN adalah wajah pemerintah yang dilihat masyarakat setiap hari. Ketika penampilan tampak lesu, buncit, atau terlihat kurang bugar, maka kepercayaan publik terhadap institusi kita pun akan terkikis. Menjadi ASN bukan hanya soal hadir tepat waktu dan mengetik laporan, tetapi juga soal menjaga diri sebagai contoh hidup sehat.

Kesehatan seharusnya menjadi bagian dari gaya hidup yang nyata. ASN harus bisa menjadi teladan: misalnya berjalan kaki ke kantor, memilih air putih dibanding minuman manis, menghindari makanan cepat saji, atau menyempatkan olahraga ringan sebelum memulai tugas. Hal sederhana ini sering diabaikan, padahal dari sanalah kepemimpinan memberi contoh.

Di tingkat kebijakan, perlunya kita menggeser paradigma: kesehatan bukan semata biaya yang dibelanjakan, tetapi investasi jangka panjang. Program edukasi gizi, pemeriksaan awal, serta gerakan masyarakat aktif di tingkat desa terbukti memberi hasil. Di Provinsi NTB, misalnya, data terbaru menunjukkan bahwa angka stunting telah menurun hingga sekitar 12,6 % pada tahun 2024 (Sumber: DetikBali, 29 Oktober 2024). Namun tantangan masih besar: secara nasional, berdasarkan Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK) Kemenkes, 37,4 % penduduk Indonesia usia 10 tahun ke atas melaporkan kurang melakukan aktivitas fisik (Sumber: BKPK Kemenkes RI, 2025). Lebih dari itu, data dari program Cek Kesehatan Gratis (CKG) menunjukkan bahwa hingga Oktober 2025, 95,8 % peserta dewasa melaporkan aktivitas fisik kurang (Sumber: Antara News, 6 November 2025). Artinya: meskipun angka stunting menurun, perilaku hidup sehat masih jauh dari ideal, bahkan di kalangan yang berpendidikan dan ASN sekalipun.

Kita sering terjebak dalam paradigma bahwa kesehatan adalah urusan kuratif, menunggu ketika seseorang sudah sakit. Padahal yang paling bijak adalah mencegah sebelum sakit muncul. Upaya promotif dan preventif harus jadi nafas utama sistem kesehatan kita. Di sinilah peran utama Puskesmas sebagai garda depan, dan peran pemerintah kabupaten/kota dalam memperkuat Puskesmas agar mampu turun ke lapangan, ke sekolah, ke pondok pesantren, ke desa–desa, melakukan edukasi tentang gizi, aktivitas fisik, dan keseimbangan hidup.

Di tingkat provinsi, arah kebijakan kesehatan NTB semakin jelas berpihak pada pencegahan. Di bawah kepemimpinan DR. H. Lalu Muhamad Iqbal (Miq Iqbal) dan Hj. Indah Dhamayanti Putri (IDP) sebagai Wakil Gubernur, Pemprov NTB meluncurkan program unggulan “Desa Berdaya” sebagai salah satu pintu gerbang kolaborasi antara Pemprov dan pemerintah kabupaten/kota, salah satunya di bidang kesehatan untuk menggairahkan kembali semangat promotif-preventif. Melalui Desa Berdaya, edukasi kesehatan tidak berhenti pada seminar, tetapi turun langsung ke desa, sekolah, dan pondok pesantren dengan melibatkan Puskesmas, perangkat desa, tenaga kesehatan, tokoh masyarakat, dan generasi muda.

Salah satu implementasi nyata adalah yang dilakukan oleh Rumah Sakit Mandalika Provinsi NTB melalui program “Layanan Edukasi Kesehatan Terarah (LENTERA) Desa Berdaya”. Program ini memperkuat sinergi lintas sektor: RS Mandalika bekerjasama erat dengan Puskesmas dan pemerintah kabupaten/kota di Lombok Tengah. Tim gabungan yang terdiri dari tenaga medis RS Mandalika, petugas Puskesmas, dan kader kesehatan desa turun langsung ke masyarakat, sekolah, hingga pondok pesantren, memberikan edukasi gizi seimbang, penyuluhan penyakit menular & tidak menular, serta pembinaan pola hidup bersih dan sehat dengan pendekatan kontekstual. Kolaborasi ini menunjukkan bahwa rumah sakit bukan hanya tempat mengobati, tetapi juga pusat inspirasi perubahan perilaku menuju hidup sehat dan mandiri.

SDM kesehatan seperti dokter, perawat, bidan, tenaga promosi, harus menjadi agen perubahan gaya hidup yang mampu menularkan semangat sehat kepada masyarakat. Mereka bukan hanya penyembuh, tetapi edukator dan penggerak komunitas. ASN dan tenaga kesehatan yang mampu menjaga keseimbangan antara pekerjaan, keluarga, dan spiritualitas akan memberi pelayanan publik yang lebih tulus dan berkualitas.

Pemerintah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota juga patut diapresiasi atas komitmennya "menjamurkan" fasilitas publik penunjang gaya hidup sehat: taman kota, jalur pedestrian, area olahraga terbuka. Namun fasilitas saja tidak cukup; dibutuhkan kesadaran kolektif untuk memanfaatkan ruang–ruang tersebut sebagai bagian dari kebiasaan hidup aktif, bukan sekadar latar foto.

Menjaga kesehatan bukanlah tugas dokter semata, tetapi gerakan bersama seluruh elemen bangsa. Dari ASN hingga masyarakat desa, semua punya peran untuk menanamkan budaya hidup sehat: bergerak lebih banyak, makan lebih bijak, menjaga waktu istirahat, dan menumbuhkan spiritualitas.

Di Hari Kesehatan Nasional ini, mari kita bercermin: apakah kita sudah benar-benar hidup sehat, atau hanya mengucapkannya dalam pidato? Mari kita jadikan semangat pencegahan sebagai kebiasaan baru, bukan sekadar slogan. Karena mencegah bukan hanya lebih baik daripada mengobati — tetapi juga lebih bijak, lebih murah, dan lebih membahagiakan.

Menutup refleksi ini, mari kita pandang masa depan dengan optimisme. Sehat bukan cita-cita yang sulit dicapai, asal kita mau memulainya dari diri sendiri. Bayangkan jika setiap ASN tersenyum bugar di pagi hari, anak-anak desa tumbuh cerdas karena gizi tercukupi, dan masyarakat berolahraga di taman dengan semangat kebersamaan — bukankah itu wajah Indonesia yang kita impikan?

Sehat adalah bahagia. Dan kebahagiaan itu sederhana — cukup dimulai dengan langkah kecil hari ini: berjalan, tersenyum, dan bersyukur. Selamat Hari Kesehatan Nasional! 


Referensi

Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Barat. Dataset Jumlah dan Persentase Balita berdasarkan Status Gizi – e-PPGBM 2024. 2024. (data.ntbprov.go.id)

DetikBali. “Dinkes Klaim Angka Stunting di NTB Turun Jadi 12,6 Persen” (29 Oktober 2024). (https://www.detik.com/bali/nusra/d-7612283/dinkes-klaim-angka-stunting-di-ntb-turun-jadi-12-6-persen)

Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK) Kemenkes RI. “Kurang Bergerak, Ancaman Tersembunyi Kesehatan Indonesia” (4 November 2025). (https://www.badankebijakan.kemkes.go.id/kurang-bergerak-ancaman-tersembunyi-kesehatan-indonesia/)

Kemenkes RI. “Proporsi Penduduk Indonesia Melakukan Aktivitas Fisik” (22 Oktober 2025). (https://www.badankebijakan.kemkes.go.id/proporsi-penduduk-indonesia-melakukan-aktifitas-fisik/)

Antara News. “Kemenkes: 95,8 Persen Peserta Cek Kesehatan Gratis Kurang Aktivitas Fisik” (6 November 2025). (https://www.antaranews.com/berita/5220753/kemenkes-958-persen-peserta-dewasa-ckg-kurang-aktivitas-fisik)

0 Komentar

Advertisement

Type and hit Enter to search

Close