Breaking News

Menyelaraskan Das Sollen dan Das Sein Dalam Pengembangan SDM NTB

Oleh Dr H.Ashari, SH, MH

 

Garis Merah- Pengembangan sumber daya manusia (SDM) merupakan fondasi utama dalam mendorong kemajuan suatu daerah. Di Nusa Tenggara Barat (NTB), berbagai kebijakan telah digagas demi menciptakan masyarakat yang terdidik, terampil, dan berdaya saing tinggi. Namun, sebagaimana di banyak wilayah Indonesia, tantangan utamanya adalah terletak pada kesenjangan antara Das Sollen (apa yang seharusnya terjadi) dan Das Sein (apa yang benar-benar terjadi).

Secara ideal, Das Sollen mencerminkan cita-cita luhur: setiap warga NTB berhak atas pendidikan berkualitas, pelatihan yang memadai, dan kesempatan kerja yang merata. Berbagai program seperti beasiswa daerah, pelatihan vokasi, hingga kerja sama dengan lembaga pendidikan telah dijalankan. Ini semua adalah representasi dari kehendak normatif dan komitmen pemerintah daerah terhadap pembangunan SDM.

Namun Das Sein sering menunjukkan realitas berbeda. Kesenjangan akses pendidikan antara wilayah kota dan pelosok, kurangnya fasilitas pelatihan, serta minimnya penyelarasan antara kurikulum dan kebutuhan industri menjadi tantangan nyata. Dalam konteks inilah kita harus meninjau apakah kebijakan yang telah dibuat dan dilaksanakan benar-benar sesuai dengan harapan normatif.

Dari sisi hukum administrasi, pembuatan dan pelaksanaan kebijakan oleh pejabat Tata Usaha Negara (TUN) di daerah tidak dapat dilepaskan dari dua fondasi utama:

1. Yuridis Normatif – yaitu dasar hukum tertulis yang mendasari sah atau tidaknya sebuah kebijakan.

2. Yuridis Kompetensi – yaitu dasar kewenangan, memastikan bahwa pejabat yang bersangkutan memang berwenang untuk membuat dan menjalankan kebijakan tersebut.

 Lebih jauh, setiap pejabat pembuat kebijakan harus memahami dua asas pokok dalam sistem hukum nasional:

1. Lex superior derogat legi inferiori – peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan yang lebih rendah. Ini juga berarti peraturan atau kebijakan yang lebih tinggi menjadi dasar acuan peraturan atau kebijakan yang lebih rendah. 

2. Lex specialis derogat legi generali – peraturan yang bersifat khusus mengesampingkan yang bersifat umum.

 Mengapa asas-asas ini penting? Karena Indonesia memiliki sistem hukum yang hierarkis dan tersusun secara berjenjang. Hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia adalah sebagai berikut:

1. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945

2. Ketetapan MPR RI (TAP MPR)

3. Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)

4. Peraturan Pemerintah (PP)

5. Peraturan Presiden (Perpres)

6. Peraturan Daerah Provinsi (Perda Provinsi)

7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota (Perda Kab/Kota)

8. Peraturan Desa (Perdes)

 Dalam kerangka ini, tidak boleh ada satu pun kebijakan daerah—baik yang dibuat maupun yang dilaksanakan oleh pejabat TUN—yang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Jika hal itu terjadi, maka kebijakan tersebut menjadi batal demi hukum dan tidak memiliki kekuatan mengikat.

Pertanyaan reflektif yang harus kita ajukan bersama adalah: Apakah selama ini kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan atau yang telah dilaksanakan oleh pejabat-pejabat TUN di daerah, antara Das Sollen dan Das Sein-nya, sudah sesuai atau belum? Apakah dasar hukumnya telah tepat, dan kewenangan yang digunakan telah sesuai dengan struktur hukum nasional?

Jika jawabannya masih "belum", maka tugas kita adalah terus mendorong perbaikan tata kelola pemerintahan, memperkuat kompetensi hukum pejabat daerah, serta meningkatkan kesadaran akan pentingnya asas dan hierarki hukum dalam setiap tindakan administratif.

Pembangunan SDM yang berkelanjutan hanya bisa tercapai jika dilandasi oleh kebijakan yang sah, rasional, dan selaras antara idealisme dan realitas. NTB memiliki potensi luar biasa—yang diperlukan adalah kebijakan yang berpijak pada hukum dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat.

 

0 Komentar

Advertisement

Type and hit Enter to search

Close