Breaking News

Iqbal Bukan Kang Dedi Mulyadi, dan NTB Bukan Jawa Barat

Oleh: Taufan Rahmadi/ Dewan Pakar GSN

Seratus hari pertama adalah ujian paling riuh bagi setiap kepala daerah. Tak terkecuali bagi Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB), Lalu Muhamad Iqbal. Di tengah harapan publik akan perubahan cepat, berbagai kritik pun mulai bermunculan, dianggap lamban, belum menunjukkan hasil konkret, dan kalah gemerlap dibanding tokoh lain seperti Dedi Mulyadi, Gubernur Jawa Barat, yang mencatatkan tingkat kepuasan publik hingga 94,7% dalam survei terbaru Indikator Politik Indonesia (28/5/2025).

*Namun justru di sinilah pentingnya publik NTB menahan diri dari penilaian yang tergesa dan perbandingan yang kurang kontekstual.* Sebab, Lalu Iqbal bukan Dedi Mulyadi, dan NTB bukan Jawa Barat. Dan perbedaan itu bukan kelemahan melainkan bentuk kekuatan yang tengah bertumbuh dalam karakter kepemimpinan yang khas.

*A. Karakter Kepemimpinan yang Berbeda*

Dedi Mulyadi dikenal sebagai pemimpin yang populis, luwes, ekspresif, dan komunikatif. Ia membangun hubungan emosional yang kuat dengan rakyat melalui simbolisme dan narasi yang mudah dicerna. Gaya ini sangat cocok dengan karakter masyarakat urban-rural Jawa Barat yang sangat aktif di media sosial dan memiliki daya resonansi tinggi terhadap pendekatan simbolik.

*Sebaliknya, Lalu Muhamad Iqbal datang dari latar belakang diplomat. Ia teknokrat yang terbiasa bekerja dengan sistem, bukan pencitraan. Ia lebih banyak menyusun fondasi daripada menampilkan etalase. Gaya komunikasinya tidak meledak-ledak, tapi substansial. Ia tidak membangun pencitraan, tapi membangun fondasi.*

Dan dalam konteks NTB yang masih berjuang dalam aspek tata kelola birokrasi, konektivitas wilayah, serta peningkatan kualitas SDM dan infrastruktur dasar pendekatan yang sistemik, bukan kosmetik, justru menjadi kebutuhan utama. Iqbal memahami bahwa NTB tidak bisa dibangun hanya dengan pendekatan populis, tetapi dengan perencanaan yang terukur, solid, dan jangka panjang.

*B. Membaca 100 Hari dengan Wacana yang Lebih Adil*

Dalam logika demokrasi yang sehat, seratus hari pertama semestinya tidak dijadikan patokan utama menilai keberhasilan kepala daerah terlebih untuk provinsi yang memiliki tantangan struktural seperti NTB. *Apalagi pembangunan bukan panggung sulap. Ia membutuhkan desain, konsolidasi internal, serta strategi lintas sektor yang tidak bisa diburu-buru.*

Yang justru harus dipertanyakan, apakah dalam 100 hari ini pemimpin daerah berhasil menyusun kerangka kerja jangka menengah dan panjang? Apakah ia melakukan pemetaan persoalan secara presisi? Apakah ia melakukan reposisi arah kebijakan? Dan dalam konteks ini, Iqbal telah menunjukkan kemajuan yang tidak selalu tampak di permukaan, namun sangat krusial di balik layar pemerintahan.

*C. NTB Butuh Pemimpin Pembangun, Bukan Penghibur*

Publik tentu berhak berharap, tetapi penting juga untuk memahami bahwa NTB sedang tidak butuh pemimpin yang sekadar menyenangkan hati masyarakat di awal jabatan. NTB sedang butuh pemimpin yang berani mengambil langkah-langkah struktural, walau tidak populer, agar dalam lima tahun ke depan, NTB bukan hanya tampil baik di permukaan, tapi benar-benar kuat dari dalam.

*Lalu Iqbal sedang merintis itu. Ia bukan tipikal pemimpin yang sibuk tampil di layar kaca, tapi yang sibuk menata fondasi dari balik layar.* Dalam waktu dekat, hasil-hasil dari pendekatan ini akan mulai terlihat: akselerasi transformasi digital pemerintahan, tata kelola anggaran berbasis kinerja, pembukaan jalur investasi berkualitas tinggi, dan integrasi program prioritas nasional ke dalam program pembangunan daerah NTB.

*D. Menutup Perbandingan, Membuka Kesempatan*

Jika publik NTB terus menilai Iqbal dengan kacamata Dedi Mulyadi, maka kita hanya akan terjebak pada ekspektasi imitasi. Padahal sejarah telah mengajarkan bahwa setiap daerah dan setiap pemimpin harus menemukan jati dirinya sendiri.

*Lalu Muhamad Iqbal bukan Dedi Mulyadi, dan itu bukan kekurangan. Itu adalah panggilan untuk menemukan model kepemimpinan khas NTB: pemimpin yang tidak hanya bekerja untuk hari ini, tapi untuk masa depan.*

0 Komentar

Advertisement

Type and hit Enter to search

Close